21 Maret 2009

Should You Act Arrogantly When You Quit?

Baru hari ini saya aktif kembali bekerja setelah 7 hari saya harus beristirahat karena penyakit lama saya kambuh. Banyak kabar dan isu yang berhembus di kantor, salah satut isunya adalah teman baik saya mengundurkan diri secara resmi di akhir bulan ini.

Mengapa mengundurkan diri padahal dia sudah menempati posisi yang bagus sebagai Manager dan he just quit. Dia mengundurkan diri tetapi belum mendapatkan tempat kerja yang baru, sounds stupid. Ini yang ingin saya pikirkan..mengundurkan diri tetapi belum mendapatkan tempat kerja yang baru. Dia berkata jujur, kelihatannya, bahwa ia keluar karena sudah tidak kuat menahan tekanan dan gaya kepemimpinan owner di sini. Pengelolaan perusahaan keluarga yang tidak sistematis, boros dan tidak tegas membuat dirinya sudah tidak kuat berada di tengah - tengah perusahaan ini.

Singkat kata, saya menyayangkan keputusan teman saya untuk keluar tanpa ada rencana cadangan terlebih dahulu karena mencari pekerjaan itu tidaklah mudah. Teman saya bercerita bahwa ia akan membuka usaha untuk sementara waktu sampai dapat memutuskan kemana jalan cerita hidup dia nanti. Ada hal lain yang saya sayangkan, yaitu ia mengumbar kebencian dan keburukan perusahaan lamanya. Hey..tidak perlu melakukan hal itu apabila memang kita merasa kecewa atas partisipasi kita di suatu lapangan pekerjaan. Tindakan mengumbar kebencian dan keburukan tidak akan merubah sesuatu apa pun, hanya perasaan puas tetapi tidak man enough saja.

Tidak perlu lantas bersikap arogan dan puas sudah keluar dari perusahaan lamanya lalu sedikit menceramahi saya untuk tidak membuang - buang waktu dan sebagainya. Setiap orang punya perhitungan dan strategi masing - masing terlebih lagi setiap orang punya kadar tanggungjawab yang berbeda - beda atas hidupnya.

Saya hanya ingin mengatakan : "tidak pernah ada gunanya apabila kita mengumbar semua kekesalan kita ketika kita sudah tidak berada di sana, lebih fair apabila kita mengumbar semua kekesalan kita pada saat kita masih berada di sana".

Saya ucapkan sukses untuk teman saya dan bersikap bijak bahwa di tempat lama banyak pelajaran dan pengalaman yang membuat dia semakin kuat.

Good Bye My Friend!


14 Maret 2009

Mari Berkendara dengan Santun...

Ternyata cukup melelahkan juga beberapa tulisan terakhir menggunakan bahasa si Obama, untuk kali ini saja saya ingin menggunakan bahasa emak pertiwi saja. Jika kita sering bepergian menggunakan kendaraan pribadi (roda 2 atau 4), pernah gak memperhatikan perilaku mengemudi masyarakat Jakarta? dan pernahkah membandingkannya dengan perilaku mengemudi masyarakat Bekasi?.

Oke?terus terang saja saya pernah.Mengapa?kebetulan domisili saya sekarang di Bekasi dan kebetulan pula rumah orang tua saya di Jakarta dan kebetulan (lagi) hampir dua minggu sekali saya mengunjungi beliau bersama istri dan (calon) anak kami.

Perilaku pengemudi roda empat di Jakarta masih lebih santun karena dalam setiap peristiwa kemacetan, kepadatan lalu lintas mereka masih berkenan memberikan ruang kosong agar kemacetan, kepadatan lalu lintas terurai secara perlahan. Mereka masih "menghormati" keberadaan lampu pengatur lalu lintas, warna merah ya berhenti, kuning ya injak gas dalam - dalam dan hijau ya jalan secepat - cepatnya.

Hal menarik lainnya adalah, para pengemudi roda empat di Jakarta lebih rapi dalam hal antri kemacetan. Kejadian saling mendahului adalah hal biasa, tetapi saya menilai lebih rapi..kalau boleh mengutip perkataan teman saya : "..main cantik...".

Oke, kini ke pengendara roda dua. Terus terang saja, saya juga mengendarai kendaraan roda dua tua dan kini menjadi alat transportasi pengais rejeki di Bekasi sehingga saya mengerti bagaimana perilaku pengendara roda dua di dua daerah yang berbeda ini...lha wong persis di depan mata kok.

Pengendara roda dua di Jakarta ini yang rada ringsek perilakunya. Penghargaan atas nyawa (baca: keselamatan diri) sudah sangat jarang saya temui. Kasus yang paling sering terlihat di depan mata saya adalah dalam hal mendahului kendaraan roda empat di depannya. Kerapkali saya melihat beberapa pengendara kendaraan roda dua hampir celaka karena mendahului mobil dari kiri, padahal mobil di depannya sudah belok ke kiri (lampu sein menyala) tetapi pengendara roda dua tetap nekat. Hasilnya? mobil berhenti mendadak dan terseruduk oleh kendaraan di belakangnya. Pengendara roda dua semakin bergerak kencang (merasa seperti pembalap GP 500 mungkin ya?) meninggalkan insiden tersebut dengan rasa tanpa bersalah. Kasus ini paling sering saya perhatikan.

Ada yang menggelikan ketika saya memperhatikan perilaku pengendara roda dua yang kebetulan sedang konvoi (atas nama organisasi / perkumpulan tertentu) di beberapa ruas jalan menuju tempat wisata. Mereka berperilaku seperti yang punya jalanan, berpakaian serba hitam, serba kulit, dan serba galak jika memberhentikan kendaraan lain agar kelompoknya dapat ngebut dengan bebas tanpa hambatan (serasa di jalan tol). Tidak ada yang dapat mengeluh atau memberitahu mereka bahwa tindakan mereka merugikan pengguna jalan raya lainnya, toh para pengguna jalan juga sama - sama membayar pajak kan?artinya sama - sama dapat menggunakan jalan raya dengan adil.

Kembali ke laptop...

Saya ingin membandingkan perilaku pengendara roda dua dan empat di dua daerah berbeda, Jakarta dan Bekasi. Saya sudah menceritakan sedikit mengenai perilaku pengendara di Jakarta kini, the moment of truth, giliran pengendara di Bekasi yang ingin saya ceritakan.

Secara garis besar : "..menyedihkan.."

Pengendara roda empat dan dua sama - sama lebih suka adu otot alias tidak ada yang mau mengalah. Di daerah Rawa Panjang misalnya, semua pengendara lebih suka menginjak gas dalam - dalam daripada harus pusing memperhatikan lampu pengatur lalu lintas. Merah jalan, Kuning jalan, Hijau jalan...tidak ada perbedaan makna di setiap warna lampu tersebut...menyedihkan.

Teman saya pernah berujar kepada saya, kebetulan beliau adalah pengamat sosial di salah satu universitas terkemuka di Jakarta, tingkat pendidikan dan intelegensi suatu masyarakat dapat dilihat secara sederhana melalui perilaku mereka dalam berkendara di jalan raya. Amati mulai dari menggunakan alat keselamatan (helm, sabuk pengaman) hingga bagaimana cara mereka berkendara (berbelok, berhenti, parkir).

Apakah sesederhana itu? ternyata teman saya bilang ya. Bagaimana mereka menghormati dan menghargai aturan lalu lintas adalah salah satu bentuk kedisiplinan, komitmen mereka atas keselamatan, tingkat pemahaman dan rasa memiliki yang tinggi. Semakin menyedihkan suatu masyarakat berkendara ya bisa dikatakan bahwa masyarakat itu kurang pintar.

Well???...saran saya adalah "mari berkendara dengan santun, hargai pengguna jalan, hargai keselamatan diri dan pengguna jalan lain, hormati pengendara lain dan disiplin dalam berkendara!". Ini bukan kampanye yang selalu menebar prosa - prosa indah tapi ini realita bung!.



Does How You Dress and Look Impact Your Career? Sadly, Yes

Ada artikel bagus tentang istilah : DRESS FOR SUCCESS.. : Years ago I worked on the shop floor of a manufacturing plant. I had worked my w...